Home » , » Jokowi-JK, Harapan Baru Untuk Perdamaian Aceh

Jokowi-JK, Harapan Baru Untuk Perdamaian Aceh


Alhamdulillah, pada tanggal 22 Juli kemarin KPU telah mengumumkan Presiden baru Republik Indonesia yang ke-7 yaitu Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kala. Jokowi menang dengan tidak mudah, penuh perjuangan dan kerja keras. Masa Pilpres sudah berlalu, sekarang kita beri kesempatan kepada Presiden terpilih untuk mengemban amanah yang diberikan rakyat Indonesia ini. Banyak sekali janji-janji Jokowi-Jk yang harus dipenuhi dan masih banyak gebrakan-gebrakan jitu yang harus dilaksanakan.

Aceh mengambil peranan penting atas kemenangan Jokowi-Jk biarpun di Aceh Jokowi-JK hanya menang 46 % lebih sedikit dari Prabowo-Hatta yang menang 54 % namun setidaknya Aceh telah menyumbangkan konstribusi suara yang tidak sedikit untuk memenangkan Jokowi-JK. Kemenangan Jokowi-JK sangat menguntungkan Aceh terutama dalam hal perdamaian. Kenapa menguntungkan Aceh? Dalam pucuk pimpinan Pemerintah Pusat ada Jusuf Kala yang sangat mengerti tentang Aceh apa lagi perdamaian Aceh lahir ketika Jusuf Kala menjabat sebagai wakil Presiden di era periode pertama SBY saat itu. Jusuf Kala yang memuiai Jusuf Kala juga yang harus mengakhirinya dengan cara menuntaskan semua kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh proses keberlangsungan perdamaian saat ini. Perdamaian Aceh dengana RI adalah perdamaian sepanjang masa bukanlah perdamaian sesaat artinya siapa pun yang menjadi Presiden otomatis berkewajiban melanjutkan dan bertanggung jawab atas keberlangsungan perdamaian yang telah dirintis dengan susah payah ini.

MoU Helsinki merupakan pijakan atas perdamaian Aceh yang kemudian diterjemahkan dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA mengamanatkan pembentukan serangkaian peraturan pelaksanaan yang menjadi kunci untuk penyelenggaraan pemerintahan di Aceh sesuai dengan maksud UUPA. Beberapa dari peraturan pelaksanaan tersebut harus diterbitkan oleh pemerintah pusat, dan banyak pula diantaranya harus diundangkan dalam bentuk qanun, baik oleh pemerintahan Provinsi atau pemerintahan kabupaten/kota.

UUPA inilah yang menjadi acuan dalam perdamaian dan pembangunan Aceh saat ini dimana jika semua turunan UUPA dilaksanakan dan dikelola dengan baik maka dipastikan masyarakat Aceh akan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan. Namun sangat disayangkan, sembilan tahun setelah disahkannya UUPA, banyak dari peraturan pelaksanaan tersebut masih belum diterbitkan, termasuk diantaranya beberapa peraturan penting yang harus dibuat oleh pemerintah pusat. Padahal amanat UUPA, dua tahun setelah diundangkan keseluruhan peraturan pelaksanaan turunan UUPA tersebut harus tuntas namun kenyataannya hari ini belum dituntaskan dan dilaksankan sepenuhnya. kita tidak tahu apa yang menyebabkan amanah perdamaian ini tidak dilaksanakan sepenuhnya, apakah tidak ada itikad baik dari Pemerintah Pusat atau entah alasan apa?. Sebenarnya kalau ada itikad baik dari Pemerintah Pusat maka tidak sulit untuk melaksanakan implementasi dari MoU Helsiki tersebut, toh  ketika berdamai di Filandia dulu mereka sudah menyepakatinya. Selanjutnya, peraturan pelaksanaan UUPA yang harus dibentuk oleh Pemerintah Pusat dapat dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kewajiban Pemerintah Indonesia yang telah dinyatakan melalui komitmen dalam MoU untuk mengundangkan UUPA sendiri. Pada dasarnya tujuan dari perdamaian adalah untuk mensejahterakan rakyat Aceh dalam bingkai NKRI.

Dalam hal ini Pemerintah Aceh tidak boleh tinggal diam, Pemerintah Aceh harus mendesak terus menerus Pemerintah Pusat untuk menuntaskan semua peraturan pelaksanaan yang masi terkendala demi untuk keberlangsungan perdamaian Aceh dimasa mendatang

Fokus pada kesejahteraan Rakyat

Selama ini fokus Pemerintah Aceh terhadap implementasi turunan UUPA hanya pada identitas daerah yang berupa lambang dan bendera sehingga terkesan mengabaikan item-item strategis lainnya. Hal ini bukan tidak boleh tetapi perjuangan dalam menuntaskan peraturan pelaksanaan tentang indentitas harus seimbang dengan turunan UUPA lainnya yang dampaknya jelas lebih mengena terhadap seluruh masyarakat Aceh seperti Kewenangan tentang sumber daya alam, Migas, hak penguasaan/pengelolaan atas tanah, Pembagian hasil 70% dan 30% untuk Aceh, dan lain sebagainya.

Usaha dan perjuangan Pemerintah Aceh untuk mencapai ini semua tidak bisa dilakukan sendiri, harus ada dukungan kuat dari banyak kalangan sehingga bisa memberi tekanan kepada Pemerintah Pusat. Lihat sekarang, menyangkut memperjuangkan identitas berupa bendera dan lambang, hanya segelintir orang yang peduli dalam hal ini ikut berdemo, itupun kebanyakan dari kalangan mantan kombatan padahal fungsi dan manfaat indentitas tersebut untuk seluruh masyarakat Aceh. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena rakyat Aceh tidak merasakan langsung dampak dari indentitas yang diperjuangkan tersebut karena dampak paling nyata hanyalah sebatas kebanggaan belaka, kebanggaan bahwa Aceh sudah punya bendera dan lambang sendiri. Coba kalau yang diperjuangakan adalah hal-hal yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat Aceh seperti yang disebutkan diatas maka bisa dipastikan rakyat akan ikut serta dalam mendukung, dikalangan masyarakat pun tidak akan menimbulkan pro dan kontra terhadap apa yang diperjuangkan karena pada dasarnya yang diharapkan oleh rakyat adalah kesejahteraan bukan lambang dan bendera.

Harapan

Dalam pemerintahan Jokowi-JK sangat diharapkan semua persoalan tentang Aceh bisa dituntaskan dengan cepat sesuai dengan motto Jusuf Kala dulu “lebih cepat lebih baik”. Harus ada pendekatan dan strategi jitu dari Pemerintah Aceh. Selanjutnya semua pihak harus saling menaruh kepercayaan. Harus ada aksi-reaksi yang menguatkan kepercayaan, transparansi, dan bila ada persoalan dalam perjalanannya harus dimusyawarahkan bersama. Diharapkan juga semua persoalan dan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan UUPA dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh Jokowi-JK untuk memenuhi semua janji damai dalam MoU Helsinki sehingga akan menguntungkan daerah dan pusat.

Kalau saja hak rakyat Aceh yang wajib diberikan oleh Pemerintah Pusat tidak terakomodir dalam 5 tahu  kepemiminan Jokowi-JK maka yakinlah untuk selanjutnya dimasa yang akan datang semua permasalahan tentang Aceh yang berbubungan dengan MoU Helsingki tidak akan bisa berjalan dengan baik alias perdamaian gagal tidak sesuai harapan. Orang yang mengerti dan peduli terhadap perdamaian Aceh sedang berada  dipucuk pimpinan sebagai wakil Preseden Republik Indonesia saja tidak mau dan tidak mampu mengakomodir kepentingan perdamaian Aceh apalagi orang yang tidak mengerti sama sekali.

[M. Darmansyah Hasbi]

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Posting Komentar