Home » , » Dulu! Tetaplah Dulu

Dulu! Tetaplah Dulu

[Gambar bersama anak-anak sekolah]
Dulu. Ya, “dulu” bukanlah sekarang.
Dulu, masa-masa yang pernah aku lalui dan rasakan namun dia tidak akan pernah bisa terulang.

Kalau saja Allah memberi aku pilihan, maka aku akan pilih “dulu”.

Dulu, pertama kali menginjakkan kaki di tanah Lembata sambutan hangat penuh harapan dari masyarakat membuat aku terharu. Tatapan penuh harapan seolah aku bersama 73 guru SM-3T menjadi dewa yang akan mengubah pendidikan di Lembata lebih baik. Sambutan di pelabuhan, di Dinas PPO sampai aku mendapatkan orang tua asuh sangat berkesan, kebaikan mereka hanya Allah yang bisa membalas.

Dulu, ketika tau bahwa sekolah penempatan selama satu tahun kedepan adalah sekolah tertinggal di Desa terpincil diatas gunung diujung Kecamatan Atadei membuat aku sedikit galau apalagi ketika mengetahui bahwa disana tidak ada listrik, sinyal dan krisis air. Aku tidak bisa protes karena aku sadar bahwa ini adalah tugas mulia, tugas negara yang disana penuh pengalaman dan ilmu yang tak ternilai.

Dulu, ketika pertama kali berangkat kesekolah untuk melapor diri menggunakan “Oto Tanjung” yaitu mobil kebanggaan masyarakat Desa Lerek. Ya, sedikit terasa aneh, mobil truk yang disulap menjadi mobil penumpang, mobil yang mempunyai kekuatan penuh untuk mengahadapi medan perbukitan. Berdesak-desakan, bau ikan asin, bau tuak dan bau aneh lainnya yang tidak tahu sumbernya dari mana, apalagi melihat anak babi di sudut mobil membuat hati kacau dan kadang-kadang salah tingkah. Kurang lebih lima jam selama perjalanan harus merasakan hal yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Dulu, pertama kali menginjakkan kaki di sekolah, anak-anak menatapku dengan penuh keanehan dengan wajah penuh tanya; siapa itu? dari mana? dan untuk apa dia kesini? Ketika meraka tau bahwa aku adalah guru mereka satu tahun kedepan, mereka senang ada guru muda yang akan menjadi teman mereka. Begitu aku tiba, kepala sekolah memberi aku tempat tinggal di mess sekolah yang berada didalam komplek sekolah; “tinggal disini saja biar bisa jagain anak asrama” kata kepala sekolah. Mess yang sudah disiapkan jauh-jauh hari, tapi ada beberapa sudut yang harus dimodifikasi dengan penambahan barang-barang yang aku bawa. Anak-anak ikut membatu pekerjaanku; mulai dari mengangkat barang, menyapu, mengambil air, semuanya mereka lakukan dengan senang hati. Sikap ingin berteman yang mereka perlihatkan membuat lima jam waktu yang membuatku bosan bisa terobati.

Dulu, ketika aku pergi mengambil air untuk mandi dan masak, bayak anak-anak dan warga yang menyapa “selamat pagi pak guru”. Perjalanan mengambil air sejauh 100 m dengan medan mendaki dan menurun membuat aku lelah tapi banyak anak-anak yang menemani, kadang-kadang mereka juga membantu. Ketika anak-anak dan warga mengantri air di bak penampungan dan aku datang untuk ikutan mengantri mereka mempersilahkan aku untuk duluan, “kasi pak guru dulu, Pak guru ingin mandi” sahut anak-anak sampai tidak tau siapa yang pertama kali mengatakannya.

Dulu, Ketika aku  duduk didepan jendela kamar sambil menikmati segelas kopi panas, aku melihat wajah-wajah penuh semangat dengan senyum manis sedikit malu-malu selalu menyapaku setiap pagi; “pagi pak guru”, selih berganti setiap harinya seolah melewati rumahku dan menyapaku merupakan hal wajib. Hampir tidak ada  anak-anak yang absen melewati rumahku dan tidak ada yang absen menyapa pagiku maklum saja rumahku didepan pagar sekolah. :)

Dulu, apel pagi secara tidak langsung menjadi tanggung jawabku karena aku tinggal di komplek sekolah dan tidak mungkin terlambat. Aku kewalahan mengatur barisan apel dengan tingkah laku anak-anak yang baru meranjak remaja itu tapi aku sangat menikmati, dengan sedikit ceramah dan motivasi aku berhasil menaklukkan mereka. Setiap apel petugas yang membacakan Doa selalu meminta ijin “pak guru, ijinkan kami berdoa menurut agama Katolik” dengan senyum aku selalu mengangguk. Sebuah penghargaan dan toleransi yang mengagumkan.

Dulu, setiap aku masuk kelas lagu wajib nasional selalu mereka lantunkan. Aku selalu mengajak mereka untuk menyanyikannya, disamping untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan motivasi dalam belajar, lantunan suara merdu mereka membaut aku terhibur. Aku sadar suara mereka sangat khas, mereka sangat berbakat menjadi penyayi, bahkan aku yakin mereka suatu saat nanti pasti bisa menjadi finalis Indonesia Idol atau X Factor Indonesia. 

Dulu, aku selalu mendaki bukit selama 35 menit untuk bisa SMS dan telpon. Diatas bukit aku bisa menikmati indahnya hutan pegunungan. Dibawah pohon kelapa yang hampir mati itu tempat faforit untuk mengetahui dunia luar seolah pohon kelapa bertindak sebagai tower sinyal. Dengan malu dan lugu anak-anak sesekali mengintip apa yang aku tulis di handpone, ingin rasanya mereka memengangnya, aku bisa maklum karena mereka tidak memiliki handpone, jarang sekali mereka lihat bahkan ada yang tidak pernah. Untuk mengobati rasa rindu mereka terhadap teknologi pada saat pelajaran TIK aku manfaatkan untuk memperkenalkan teknologi kepada anak-anak pedalaman ini. Semua alat elektronik yang aku punya dan ada beberapa aku pinjam di ruang guru aku bawa ke ruang kelas dan mempersilahkan anak-anak untuk melihat, memegang dan menggunakanya setelah itu aku jelaskan sejarah kenapa alat itu ada dan untuk apa alat itu ada. Aku pikir, sekalipun mereka tidak memilikinya tetapi setidaknya mereka tau itu alat apa.

Dulu, aku mempersiapkan RPP dan bahan ajar dimalam hari hanya bermodalkan pelita sampai kacanya hitam tak pernah dibersihkan sehingga cahayanya tidak lagi nampak. Untuk mempersiapkan makan malam, HP Nokia senter pahlawannya dengan meletakkannya dimulut sehingga bisa menerangi tangan yang sedang mengiris bawang. Ketika aku merindukan musik maka rumah pak Andris adalah sasarannya, dengan menempuh 300 m berjalan kaki, disanalah aku selalu mengisi baterai handpone dan labtop untuk menghiburku beberapa saat. Lumayan, bisa menghiburku selama 2 hari. Ya. Desaku memang tidak punya listrik dari PLN, cuma pembangkit listrik pribadi dengan menggunakan mesin genset itupun hanya orang-orang tertentu yang punya. Malam demi malam aku lalui selama ini dalam gelap gulita, awalnya merasa kesepian tetapi lama-kelamaan sudah terbiasa sehingga ketika aku mendapatkan sebuah sumber listrik, aku berlagak seperti orang kelaparan mendapatkan sebungkus nasi, begitulah senangnya.

Dulu, aku selalu mendapatkan sayur-mayur pemberian dari anak-anak dan warga, kadang-kadang juga mencarinya di hutan. Jalan didepan rumahku satu-satunya jalan menuju kebun, biasanya setiap sore aku selalu bersantai didepan jendela. Kalau warga membawa sayur, buah dan hasil kebun lainnya dan mereka melihat aku didepan jendela, aku pasti mendapatkan jatah satu-dua dari hasil kebun mereka.

Dulu. Ketika aku sampaikan bahwa masa tugasku akan berakhir, anak-anak itu mengeluh, ada yang menangis “kenapa terlalu cepat?, "siapa yang mengajari kami nanti?" cetus mereka. Ketika aku sampaikan hal yang sama kepada teman-teman guru, wajah murung terlihat, mereka kehilangan teman baru. Sebuah acara perpisahan yang sangat berkesan mereka persembahkan membuat mataku berkaca-kaca. Ketika aku mau pulang ke Lewoleba jam 03.00 dini hari, anak-anak itu menemaniku, teman-teman gurupun ikut serta, mereka mengikutiku sampai mobil itu jauh tak terlihat. Malam itu dingin,bahkan sangat dingin tapi mereka menyempatkan untuk bangun dan melihat wajahku untuk terakhir kalinya. Kali ini air mata itu membasahi pipiku. Air mata pertama selam 10 tahun terakhir.

Ya. Dulu. Banyak kejadian menyenangkan, kejadian mengharukan, dan kejadian menyedihkan. Kejadian-kejadian yang pernah aku lalui selama satu tahun.

Masa dulu, tidakkan bisa terulang lagi. Sekarang aku tidak lagi berada disana. Didesa tanpa listrik, sinyal dan air itu. Aku sudah berada ditempat yang penuh kemewahan; listrik 24 jam, sinyal lancar dan air belimpah. Aku tidak perlu lagi menggunakan pelita, disini listriknya mubazir. Aku tidak perlu lagi menaiki bukit untuk mendapatkan sinyal disini aku mendapatkan 3G, internetanku lancar. Aku tidak perlu lagi berjalan jauh untuk mengambil air, disini aku punya pompa air bahkan PDAM, suplai air untuk kebutuhan hari-hariku lancar. Aku tidak perlu lagi mencari sayur di hutan sudah ada pasar disini, supermaket bahkan mall.

Kondisi serba kecukupan yang kurasakan sekarang tidaklah membuatku terlalu senang, kuanggap itu biasa-biasa saja. Tapi kondisi serba kekurangan yang kurasakan dulu membuat aku menjadi manusia kuat, manusia yang tidak pernah menggeluh dalam kondisi dan situasi apapun.

Kalau saja Allah memintaku untuk memilih; bagian mana dalam hidupku yang harus diputar ulang, maka aku akan memilih masa dulu, masa-masa aku berada di Desa Lerek di pedalaman Lembata. Banyak kenangan yang kudapatkan disana.

Suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. :)


Lewoleba pagi menghitung hari tidak lama lagi tinggal 22 hari. 

[M. Darmansyah Hasbi]

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Posting Komentar